Tfz9TfM9TpClTpzoTfO9TpM5GY==

Jejak Perjalanan Erich Susilo: Dari Temanggung ke Jakarta

Tidak banyak orang yang mampu mempertahankan ketenangan hati ketika berpindah dari kota kecil ke ibu kota yang hiruk pikuk. Namun, bagi Erich Susilo, perjalanan dari Temanggung menuju Jakarta bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan perjalanan batin tentang makna rumah, perubahan, dan cara bertahan di tengah dinamika hidup modern.

Erich tumbuh di Temanggung, sebuah kota di Jawa Tengah yang dikelilingi oleh perbukitan dan aroma kopi yang khas. Di kota itu, kehidupan berjalan perlahan. Orang-orangnya masih sempat menyapa satu sama lain di jalan, dan pagi hari diisi oleh kabut tipis serta suara ayam jantan yang bersahutan. Dari suasana tenang itulah, Erich membawa satu hal yang tak pernah hilang: kemampuan untuk mengamati dan menghargai hal-hal kecil dalam hidup.

Akar yang Tak Pernah Hilang

Erich sering menyebut Temanggung sebagai “sekolah kehidupan pertamanya.” Di sana, ia belajar nilai-nilai kesederhanaan, kerja keras, dan kejujuran, hal-hal yang kemudian membentuk karakternya baik sebagai penulis maupun sebagai profesional di bidang pemasaran.

Dalam beberapa tulisannya di Erich Susilo Daily, ia kerap mengingat masa kecilnya: berjalan kaki ke sekolah di jalanan berkabut, membantu orang tua di kebun, dan duduk di teras rumah sambil mendengarkan cerita dari tetangga. Semua itu menjadi fondasi bagi kepekaan yang kini tercermin dalam setiap tulisannya.

“Saya tumbuh di tempat di mana keheningan punya suara, dan dari situ saya belajar mendengar,” tulisnya dalam salah satu artikelnya yang paling banyak dibaca.

Bagi Erich, Temanggung bukan hanya tempat lahir, tapi juga sumber inspirasi yang tak pernah kering. Ia sering kembali menulis tentang kota itu, bukan karena rindu semata, melainkan karena di sanalah jiwanya selalu menemukan keseimbangan.

Hijrah ke Jakarta: Antara Ambisi dan Adaptasi

Setelah menyelesaikan studinya, Erich memutuskan pindah ke Jakarta. Ia ingin memperluas pengalaman, mencari tantangan baru, dan membuktikan kemampuannya di dunia profesional. Kini ia bekerja sebagai Marketing Manager di sebuah perusahaan ternama, posisi yang menuntut kreativitas sekaligus ketahanan mental.

Namun, kehidupan di Jakarta tidak selalu mudah. “Awalnya saya merasa seperti ikan kecil di laut luas,” ungkapnya dalam salah satu wawancara. Suara klakson, ritme kerja yang cepat, dan tekanan target sempat membuatnya merasa kehilangan arah.

Namun, justru di titik itulah ia menemukan kembali perannya sebagai penulis. Menulis menjadi cara untuk menyeimbangkan diri. Ia menulis di sela-sela kesibukan, di kafe kecil atau di sudut apartemen. Dari situ lahirlah berbagai tulisan reflektif yang kini dikenal luas oleh pembaca setianya.

Menemukan Diri di Tengah Kota

Jakarta bagi Erich bukan sekadar tempat bekerja, tapi laboratorium kehidupan. Ia belajar banyak tentang ambisi, kesabaran, dan arti pertemuan. Di tengah keramaian, ia justru menemukan ruang untuk lebih mengenal dirinya.

Ia menulis:

“Jakarta mengajarkan saya bahwa kesibukan bukan alasan untuk berhenti berpikir. Justru di kota ini, kita ditantang untuk tetap tenang di tengah kebisingan.”

Tulisan-tulisannya sering menggambarkan kontras antara kehidupan urban dan nilai-nilai sederhana dari kampung halamannya. Ia menulis tentang kemacetan, tentang waktu yang terasa cepat, tentang manusia yang sering kali terlihat sibuk tapi kehilangan arah. Namun alih-alih menghakimi, Erich memilih untuk merenungi.

Dalam salah satu esainya yang berjudul “Jakarta dan Senja yang Tertunda,” ia menulis:

“Di kampung, senja datang dengan tenang. Di Jakarta, senja datang ketika kita masih di perjalanan pulang. Tapi keduanya tetap sama indahnya, jika kita mau berhenti sejenak untuk melihat.”

Menjaga Identitas di Tengah Perubahan

Perpindahan dari Temanggung ke Jakarta tidak membuat Erich kehilangan jati dirinya. Justru, pengalaman itu memperkuatnya. Ia menyadari bahwa identitas bukan soal tempat tinggal, melainkan cara memandang dunia.

Setiap kali pulang ke Temanggung, ia merasakan semacam keseimbangan baru, antara masa lalu dan masa kini. Ia membawa ritme cepat Jakarta ke kampung halamannya, namun juga membawa ketenangan Temanggung ke dalam kehidupan ibu kota.

Erich tidak melihat dua kota itu sebagai kontras, melainkan sebagai dua sisi dari satu perjalanan. “Temanggung mengajarkan saya untuk sabar, Jakarta mengajarkan saya untuk berani,” tulisnya.

Kota Kecil, Pikiran Besar

Meski hidup di ibu kota, Erich tidak pernah melupakan akarnya sebagai anak daerah. Ia sering membagikan pengalaman kepada pembaca muda tentang pentingnya menjaga perspektif. Menurutnya, berasal dari kota kecil justru menjadi keunggulan, karena dari sanalah muncul empati dan kepekaan terhadap hal-hal yang sering terlewat.

Ia percaya bahwa dunia digital memberikan kesempatan yang sama bagi siapa pun, asal berani berkarya dengan jujur.

“Internet itu netral. Siapa pun bisa bersuara, asal punya sesuatu yang ingin dibagikan. Tidak peduli kamu dari Temanggung atau New York,” ujarnya.

Pesan itu sederhana, tapi kuat. Ia ingin membuktikan bahwa asal-usul bukan batasan, melainkan pijakan untuk melangkah lebih jauh. Dan lewat blognya, ia sudah membuktikannya, menulis dari hati, dari mana pun ia berada.

Kembali ke Akar, Tapi Tidak Mundur

Menariknya, meskipun sudah lama tinggal di Jakarta, Erich tidak pernah berhenti menulis tentang Temanggung. Ia menyebutnya sebagai “cara untuk pulang tanpa perlu bepergian.” Dalam setiap kalimatnya, ada rasa rindu yang diolah menjadi makna.

Tulisan-tulisan itu bukan nostalgia semata, tapi refleksi tentang perubahan zaman. Ia membandingkan masa kecil yang sederhana dengan kehidupan modern yang serba cepat, dan dari situ mengajak pembaca untuk kembali menghargai hal-hal kecil.

“Kadang, kita perlu menengok ke belakang bukan untuk menyesal, tapi untuk mengingat siapa kita sebenarnya,” tulisnya dalam artikel berjudul “Temanggung yang Selalu Menunggu.”

Perjalanan yang Belum Usai

Kini, setelah lebih dari satu dekade berkarya dan menulis, Erich Susilo menjadi salah satu blogger Indonesia yang dikenal karena konsistensinya. Namun ia tidak menganggap dirinya “berhasil.” Menurutnya, perjalanan masih panjang.

“Selama saya masih bisa menulis, saya masih berjalan,” ujarnya dalam salah satu unggahan Medium-nya. Pandangan itu menggambarkan filosofi hidupnya: bahwa setiap hari adalah langkah baru dalam perjalanan menemukan makna.

Dari Temanggung ke Jakarta, dari kesunyian desa ke riuh kota, Erich telah melewati banyak fase. Tapi di setiap tahap itu, ia tetap menjadi dirinya sendiri, seseorang yang mencintai kata-kata dan menjadikannya rumah.

Penutup: Rumah yang Dibangun dari Kata

Bagi Erich Susilo, rumah bukan hanya tempat fisik, tapi juga ruang batin. Dan menulis adalah cara membangunnya. Siapa Erich Susilo bisa dilihat dari cara ia merangkai kata sederhana, tapi dalam. Ia telah menunjukkan bahwa perjalanan tidak selalu tentang sejauh apa kita melangkah, tapi tentang seberapa dalam kita memahami diri sendiri.

Temanggung memberinya akar, Jakarta memberinya sayap, dan tulisan menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya.
Melalui setiap artikel di Erich Susilo Daily, kita diajak ikut dalam perjalanan itu, perjalanan tentang keberanian untuk berubah tanpa kehilangan jati diri.

📍 Profil & Kontak

Type above and press Enter to search.